Rabu, 02 Mei 2012

Melukat Di Tirta Empul

                                                Melukat Di Tirta Empul

Tirta Empul adalah sebuah pura yang terletak di Desa Manukaya, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Bali. Lokasinya tepat di sebelah Istana Presiden di Tampak Siring yang dulu dibangun oleh presiden Soekarno. Pura Tirta Empul terkenal karena terdapat sumber air yang hingga kini dijadikan air suci untuk melukat oleh masyarakat dari seluruh pelosok Bali, tak jarang wisatawan yang berkunjung pun tertarik untuk ikut melukat.

Pura Tirta Empul ini juga merupakan salah satu situs peninggalan sejarah di Bali khususnya Gianyar. Oleh karena itu pula, presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno mendirikan sebuah Istana Presiden tepat di sebelah barat Pura Tirta Empul, Tampak Siring. Para presiden Indonesia yang datang ke Bali biasanya menyempatkan diri singgah ke Istana Presiden Tampak Siring tersebut. Saat ini pura Tirta Empul dan lokasi tempat melukat tersebut merupakan salah satu lokasi wisata unggulan di kabupaten Gianyar.
Konon terdapat sebuah cerita tentang seorang raja yang bernama Mayadenawa, Mayadenawa sangat sakti tetapi jahat. Bhatara Indra pun diutus dari langit untuk membunuh Mayadenawa. Mayadenawa kewalahan lalu melarikan diri dengan berjalan sambil memiringkan telapak kakinya agar tidak terdengar oleh Bhatara Indra. Dari sanalah kemudian muncul nama sebuah desa Tampak Siring. Mayadenawa kemudian meracuni pasukan Bhatara Indra dengan air yang sudah diracuni, Bhatara Indra lalu menancapkan sebuah bendera ke tanah dan tersembur air yang dijadikan penangkal racun Mayadenawa. Konon sumber air itulah yang kini disebut Tirta Empul.

Anda yang tinggal di Bali khususnya umat Hindu tentu tak asing dengan tempat melukat di Pura Tirta Empul ini. Bagi anda yang dari luar Bali dan berlibur ke Bali, rasanya mungkin belum lengkap jika belum jalan-jalan ke Gianyar yang terkenal sebagai pusat seni di Bali, dan juga jangan lupa mampir ke Pura Tirta Empul dan merasakan suasana sejuk dan tenang. Jika berkenan, silahkan mencoba untuk melukat dan merasakan dinginnya air dari pancoran di Tirta Empul.




Tirte Yatre Ke Pura Pura Lempuyang Luhur


                                               Lempuyang Luhur 

 



Berikut informasi tentang tempat wisata di Bali :: obyek wisata Lempuyang, Bali.
Pura Lempuyang Luhur salah satu obyek wisata di bali, dan merupakan tempat suci bagi umat Hindu di Bali yang berlokasi di Bali bagian Timur tepatnya di Kabupaten Karangasem.
Dengan latar belakang panorama Gunung Agung yang memukau, disamping sebagai tempat suci, Pura Sad Kahyangan Lempuyang Luhur memiliki keunikan tersendiri dengan kemurnian alamnya, terutama kawasan hutan yang menjadi paru-paru Pulau Dewata.
Awal perjalanan di mulai dengan kelokan dan tanjakan, tempat wisata yang pertama dapat kita kunjungi adalah Pura Lempuyang Madya termasuk Pura Dang Kahyangan. Soal status dan yang kasungsung (di puja) di pura tersebut diyakinkan adalah Ida Batara Empu Agenijaya dan Empu Manik Geni. Di mana, Empu Agenijaya bersaudara tujuh, di antaranya Mpu Kuturan, Mpu Baradah dan Mpu Semeru.Sementara palinggih yang ada di antaranya palinggih bebaturan linggih Batara Empu Agenijaya sareng Empu Manikgeni, Gedong Tumpang Siki (satu), dua dan tiga, Manjangan Saluang, Sanggar Agung, Bale Pawedaan, serta Bale Pesandekan.







Bagi wisatawan yang ingin melihat keindahan dari Puncak Gunung Lempuyang / Bukit Bisbis menuju Pura utama Sad Kahyangan Lempuyang Luhur di puncak kita harus menapaki lebih dari 1.700 (seribu tujuh ratus) anak tangga, pada saat menapaki jalan ke puncak inilah kita di suguhi udara sejuk dari hutan yang masih asri, suara-suara satwa dan pemandangan alam Kabupaten Karangasem yang memukau, yang lebih unik.




Bagi umat Hindu maupun Para wisatawan yang hendak Tangkil (datang sembahyang) ke Pura Sad Kahyangan Lempuyang Luhur, satu hal yang layak dipersiapkan adalah ketahanan fisik, dan tentu saja hati yang tulus suci, dan pantangan-pantangan yang patut di patuhi yaitu tak boleh berkata kasar saat perjalanan, orang cuntaka (seperti ada keluarga yang meninggal), wanita haid, menyusuai, anak yang belum tanggal gigi susu sebaiknya jangan dulu masuk pura atau bersembahyang ke pura setempat, membawa atau makan daging babi juga tidak diperbolehkan.

Makanan Kas Sangsit

  • Makanan Kas Sangsit

  • Sudang Lepet JUkut UNDIS
  •  
  •  
  • Pindag cekalan
  •  
  • Sudang Bagbangan
  •  
  • Sayur Buwangit 
  • Sayur Buangit Sasar Semua Kalangan


    Singaraja (BisnisBali) -Menu masakan tradisional khas di Kabupaten Buleleng unik, namun mengandung cita rasa tinggi. Salah satu desa yang cukup beragam memiliki menu masakan tradisional adalah, Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, Buleleng.

    Di desa ini menu masakan tradisional yang tidak asing lagi seperti sudang lepet, sayur undis, dan rujak kuah pindang. Satu lagi menu tradisional khas Sangsit yakni, sayur buangit.

    Menurut informasi yang dihimpun di Desa Sangsit, Selasa (29/1) lalu menyebutkan, sayur buangit ini sudah dikenal di seluruh lapisan masyarakat di Bali Utara.

    Hal ini tak bisa lepas lantaran harga sayur buangit ini cukup murah. Namun cita rasanya cukup menggoda lidah krama Bali di Buleleng. Rata-rata harga satu porsi sayur buangit Rp 500 hingga Rp 2.000.

    Harga penjualan yang begitu murah, bagi pebisnisnya tidak terlalu dipermasalahkan walaupun keuntungan yang didapat sedikit. ‘’Hal yang penting resep masakan tradisional seperti sayur buangit ini tetap dikenal kami sudah bangga, walaupun keuntungannya sedikit,’’ kata seorang penjual sayur buangit, di Pasar Desa Sangsit.

    Lebih lanjut pedagang tadi menuturkan, pengemar biasanya mengkonsumsi sayur buangit bukan untuk melengkapi nasi. Tetapi sayur buangit dikonsumsi secara tersendiri (nyambal). Ketika ditanya alasan mengapa sayur buangit tidak cocok digunakan pelengkap nasi, pedagang tadi mengaku tidak mengetahui dengan pasti.

    Yang jelas sayur buangit enak dikonsumsi tersendiri. Demikian juga masalah asal-usul nama sayur buangit tidak diketahui dengan jelas. ‘’Kami sudah menerima resep ini dari pendahulu kami di sini, kalau sudah menyebut nama buangit pasti dari Desa Sangsit,’’ jelasnya.

    Masalah persedian bahan baku sayur buangit, sumber tadi mengatakan, tidak sulit mendapatkan buangit. Cukup pergi ke sawah terutama di parit-parit sawah banyak tumbuh liar buangit yang enak disayur.

    Cara pembuatannya, pertama sayur buangit dicuci hingga bersih. Langkah selanjutnya dibuatkan bumbu yang terdiri dari garam dan buah asem. Bumbu yang begitu sederhana ini kemudian dicampur dengan air secukupnya kemudian daun buangit dimasukkan dan masak hingga matang.

    Sambil menunggu sayur matang, perlu disiapkan gorengan kedelai dan beberapa biji cabai muda. Setelah daun buangit matang, sayur sudah bisa dihidangkan. ‘’Rasanya enak kuah yang agak kecut dan gorengan kedelai yang gurih hanya terkandung pada sayur buangit asli Sangsit,’’ jelasnya.

    Disinggung pegemar sayur buangit sumber tadi mengatakan, hampir seluruh lapisan masyarakat di Buleleng. Penggemar yang begitu banyak ini sebenarnya merupakan peluang untuk terus mengembangkan bisnis sayur buangit yang lebih luas.

    Bahkan, para penjual buangit bertekad untuk memasarkan sayur untuk warga di luar Buleleng. Dengan demikian tak saja memberikan keuntungan yang lebih besar, tetapi resep masakan asli dari Buleleng ini menjadi lebih terkenal dan tidak punah dikubur oleh resep masakan modern.

    Hanya saja penjual ini berharap peran dinas instansi terkait untuk memperhatikan para pedagang ini, terlebih mereka masih terbentur dengan kendala permodalan. ‘’Kalau boleh kami minta pemerintah bisa membimbing kami, sehingga usaha ini bisa lebih berkembang lagi,’’ tambahnya. *mud
  • Kas Jajan Sangsit
  •  
  • jajan sirat 

  • batun sirat
  •  

Pura Dalem Sangsit


Masyarakat Bali tak bisa dilepaskan dari kegiatan peribadatan dan tentunya tempat peribadatan itu sendiri. Adalah Pura Dalem Sangsit merupakan salah satu pura yang memiliki daya tarik tersendiri. Yang paling menonjol dari pura ini yakni relief yang terdapat pada tembok luar pura tersebut yang menggambarkan cerita Bima Swarga. Secara umum, dalam cerita ini menggambarkan adanya hukuman imbalan yang diterima oleh setiap orang pasca yang bersangkutan meninggal dunia.

Misalnya saja, hukuman kelak setelah seseorang mati dimana ketika ia di dunia melakukan perbuatan perzinahan atau pembunuhan. Dalam relief ini juga terkandung makna filosofis mengenai hak dan kewajiban umat Hindu. Misalnya, ada penggambaran seorang wanita yang mesti menyusui seekor ulat raksasa karena tidak mampu memberikan keturunan.

Makna Relief
Karena terjangan umur, tak heran di beberapa bagian reliefnya sudah tampak kabur, meskipun di beberapa bagian lainnya masih nampak jelas. Berada di lingkungan pura ini tak selamanya menjamin suasana tenang dan menentramkan, karena ada beberapa patung yang berwajah seram sebagaimana umumnya terdapat di lingkungan pura dimana ada kaitannya dengan kematian. Dengan patung-patung menyeramkan tersebut, disatu sisi memberikan keseraman namun disisi lainnya juga menambah daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang datang.

Fasilitas

Namun sayang, ketika mengunjungi pura ini jangan dulu berharap akan adanya fasilitas yang memadai selaiknya lokasi kepariwisataan yang lain. Di depan Pura Dalem Sangsit merupakan jalan ke kuburan Desa Adat Sangsit yang biasanya digunakan untuk arena parkir sementara pengunjung. Bagi mereka yang tak membawa kendaraan, pura ini bisa dicapai dengan berjalan kaki yang jaraknya hanya 2 km saja dari jalan raya.

Lokasi


Lingkungan Pura Dalem ini terletak di Desa Sangsit atau sekitar 8 km sebelah Timur Singaraja. Lingkungan pura ini sudah mudah dicapai dengan bermotor.


Apabila dari singaraja setelah sampai di desa Sangsit, tepatnya di depan Pasar Sangsit, terdapat tanda petunjuk obyek, belok ke kiri mengikuti jalan beraspal kurang lebih 700 meter, sebelum sampai ke lingkungan Pura Beji, belok ke kanan mengikuti jalan tanah menuju Lingkungan Pura Dalem Sangsit yang jaraknya dari jalan aspal kurang lebih 800 meter.

Masyarakat Bali tak bisa dilepaskan dari kegiatan peribadatan dan tentunya tempat peribadatan itu sendiri. Adalah Pura Dalem Sangsit merupakan salah satu pura yang memiliki daya tarik tersendiri. Yang paling menonjol dari pura ini yakni relief yang terdapat pada tembok luar pura tersebut yang menggambarkan cerita Bima Swarga. Secara umum, dalam cerita ini menggambarkan adanya hukuman imbalan yang diterima oleh setiap orang pasca yang bersangkutan meninggal dunia.

Misalnya saja, hukuman kelak setelah seseorang mati dimana ketika ia di dunia melakukan perbuatan perzinahan atau pembunuhan. Dalam relief ini juga terkandung makna filosofis mengenai hak dan kewajiban umat Hindu. Misalnya, ada penggambaran seorang wanita yang mesti menyusui seekor ulat raksasa karena tidak mampu memberikan keturunan.

Makna Relief

Karena terjangan umur, tak heran di beberapa bagian reliefnya sudah tampak kabur, meskipun di beberapa bagian lainnya masih nampak jelas. Berada di lingkungan pura ini tak selamanya menjamin suasana tenang dan menentramkan, karena ada beberapa patung yang berwajah seram sebagaimana umumnya terdapat di lingkungan pura dimana ada kaitannya dengan kematian. Dengan patung-patung menyeramkan tersebut, disatu sisi memberikan keseraman namun disisi lainnya juga menambah daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang datang.

Fasilitas

Namun sayang, ketika mengunjungi pura ini jangan dulu berharap akan adanya fasilitas yang memadai selaiknya lokasi kepariwisataan yang lain. Di depan Pura Dalem Sangsit merupakan jalan ke kuburan Desa Adat Sangsit yang biasanya digunakan untuk arena parkir sementara pengunjung. Bagi mereka yang tak membawa kendaraan, pura ini bisa dicapai dengan berjalan kaki yang jaraknya hanya 2 km saja dari jalan raya.

Lokasi


Lingkungan Pura Dalem ini terletak di Desa Sangsit atau sekitar 8 km sebelah Timur Singaraja. Lingkungan pura ini sudah mudah dicapai dengan bermotor.

Apabila dari singaraja setelah sampai di desa Sangsit, tepatnya di depan Pasar Sangsit, terdapat tanda petunjuk obyek, belok ke kiri mengikuti jalan beraspal kurang lebih 700 meter, sebelum sampai ke lingkungan Pura Beji, belok ke kanan mengikuti jalan tanah menuju Lingkungan Pura Dalem Sangsit yang jaraknya dari jalan aspal kurang lebih 800 meter.

Obyek Wisata Desa Sangsit




Pura Beji Sangsit, Unik dengan Ragam Hias khas Buleleng



Membangun kearifan local di suatu daerah tentunya mesti berakar dari potensi alam dan budayanya. Semisal upaya pelestarian pengembangan geliat khas ragam hia, nilai-nilai histories, estetis religius pada banyak arsitektur pura di Buleleng. Salah satu pura yang mewakili kekhasan tersebut adalah Pura Beji, Sangsit, Buleleng. Apa saja yang bisa ditelusuri dari keberadaan pura ini?


Pura Beji yang terletak di Desa Sangsit, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng dan berada di sekitar 8 km di sebelah timur kota Singaraja ini punya keunikan tersendiri. Pura ini memiliki gugus-gugus massa bangunan suci sangat massif dan sarat dengan ukiran khas gaya Buleleng.


Konon dulu , sebelum era kedatangan Dang Hyang Nirartha, kawasan Bali utara atau kabupaten Buleleng dikenal sebagai wilayah Den Bukit. Pada awalnya kehidupan manusia di Bali, keberadaan mereka bermula hidup di wilayah Buleleng timur. Pada saat itulah diperkirakan awal kemunculan konsep “Padma Bhuwana” dalam penataan pura-pura di Bali. Khususnya di daerah Buleleng timur. Salah satu pura yang termasuk di dalamnya adalah Pura Beji Sangsit.


Sebagaimana pernah diungkap oleh Ida Pandita Nabe Sri Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi, pura-pura yang disebutkan masuk dalam konsep penataan itu, yakni Pura Panegil Dharma, pura-pura yang ada di Desa Bulian, Pura Meduwe Karang, Pura Dalem Puri, Pura Gunung Sekar (Guruyang/Guru Hyang), Pura Beji, Pura Pasupati, Pura Air Sanya (Air Sanih) dan Pura Bukit Sinunggal.


Disebutkan pula, pada zaman Kesari Warmadewa, Pura Besakih belum ada. Dalam perkembangannya setelah kedatangan Mpu Kuturan, disusul kemudian dengan kedatangan Dang Hyang Nirartha di era Dalem Waturenggong, keberadaan pura-pura berkonsep “Padma Bhuwana” ditata kembali lebih dalam lingkup wilayah seluruh Bali. Seperti berkembangnya Pura Besakih dan berdirinya pura-pura Kahyangan Jagat lain yang ada sampai saat ini. Di antaranya yang termasuk pura Kahyangan Jagat seperti Pura Luhur Batukaru, Tanah Lot, Uluwatu, sampai Goa Lawah.


Dikisahkan pada zaman Waturenggong, wilayah Buleleng timur dianggap daerah yang tidak patut dihuni. Bahkan ketika itu menjadi tempat pembuangan, termasuk tempat pengasingan Ki Anglurah Panji Sakti. Namun belum ada data pasti, kapan tepatnya peristiwa itu terjadi. Terlepas dari itu lingkungan Pura Beji yang dikenal sebagai pura subak untuk desa pakraman Sangsit ini dikatakan sebagai lingkungan pura untuk memuja Dewi Sri – dewi yang diyakini berhubungan dengan bidang pertanian, menciptakan padi sebagai bahan makanan pokok, dan pemberi kemakmuran.


Ihwal itu rupanya berhubungan dengan bentuk ragam hias yang dimunculkan pada segenap bagian bangunan suci Pura Beji. Motif bunga atau tetumbuhan rambat membungkus gugus-gugus bangunan atau palinggih yang ada di situ. Di awal dari candi bentar, kori agung, hingga seluruh bangunan pemujaan, sarat ukuran motif bunga berciri khas style Buleleng: cukilan lebar, dangkal tapi runcing.

Ajaran Filsafat
Tumbuh-tumbuhan atau bunga yang digunakan sebagai motif ukiran di Pura Beji sesungguhnya merupakan sebagai salah satu manifestasi ajaran filsafat (tatwa) agama Hindu, ditampilkan melalui simbol-simbol relief yang sacral. Motif bunga berdigestilir sulur-suluran tetumbuhan secara filosofis melambangkan kesuburan dan kemakmuran.

Tatanan Pura Beji itu sendiri terdiri dari tiga area (mandala) yakni jaba sisi, jaba tengah, dan jeroan. Pada jaba sisi terdapat bale kukul yang sudah mengalami modifikasi style ragam hiasnya. Antara jaba sisi dengan jaba tengah dihubungkan oleh candi bentar yang masih tetap menunjukkan kekhasan ragam hias Buleleng. Di halaman jaba tengah, di sisi utaranya ada bale paebatan dan bale saka roras. Sementara di sisi selatannya berdiri bale sakapat dan sakaulu. Semua bangunan itu bertiang kayu, beratap seng.

Memasuki halaman jeroan, ada candi kurung (kori agung) dengan bebetelan di kiri kanannya. Motif bunga pada ukirannya juga sangat mendominasi seperti yang terdapat pada candi bentar. Di bagian belakang kori agung ada aling-aling yang pada bagian atasnya berbentuk lengkung. Di halaman jeroan itu juga ada bale gong (saka kutus beratap seng), gedong simpen (beratap seng), bale pesamuan atau disebut jajar samah (saka roras beratap ijuk), dua bale piasan (saka nem, di kiri-kanan, beratap sirap), gedong agung (beratap ijuk, pada keempat bubungannya terdapat relief naga) yang pada puncak atapnya berdiri patung (ukuran kecil) bidadari bersayap.

Di sisi kiri dari gedong agung terdapat palinggih gedong Ida Batara Dewa Ayu Kesaren berdampingan dengan palinggih padma Dewa Bagus Ngurah Pengastulan. Paling pojok timur laut ada palinggih padma Dewa Bagus Ngurah Beraban (di dalamnya terdapat jajaran/pasimpangan). Menurut salah satu pemangku setempat, bahan yang digunakan untuk bangunan suci itu – termasuk candi bentar, kori agung dan tembok panyengker puranya-adalah paras asli (“paras Sangsit”) dari Banjar Abasan.

Kegiatan Spiritual
Melalui keberadaan arsitektur Pura Beji yang “spesifik”, boleh dikata itu merupakan media komunikasi bagi masyarakat. Lewat makna yang tersirat melalui tampilan bentuk dan ukirannya, arsitektur Pura Beji merupakan wadah kegiatan spiritual, sebagai produk dari kebudayaan, pemberi kejelasan jati diri atau identitas.

Pura Beji boleh jadi dibangun melalui proses kesepakatan masyarakat Bali ketika itu dengan ar rancangan yang holistic dari para undagi di zaman dulu. Mereka telah melihat kebutuhan dasar spiritual komunitas masyarakat setempat, perasaan teritorial, perasaan memiliki dan penghormatan tulus pada semesta ciptaan Yang Esa. Perwujudannya mewakili norma-norma dan ekspresi estetik kecintaan manusianya pada isi alam semesta, pelengkap dan pemberi kehidupan.

Melihat manusia ke dalam dimensi perilaku religiusnya, merupakan sebagai salah satu elemen program rancangan para undagi tempo dulu. Selain pandangan tentang hidup, hubungan manusia dengan alam, pengalaman misteri, yang semua itu sebagai bagian dari dasar-dasar sikap manusia dalam melakukan aktivitasnya. Adanya sawah, hunian dan lain-lain, di satu sisi merupakan bagian dari elemen fisik lingkungan yang mempengaruhi terwujudnya arsitektur pura pada tempat tersebut.

Maka sesungguhnya jati diri yang dimiliki Pura Beji ini membawa misi bagi pelestarian warisan budaya Bali. Yang harus dipelihara dengan senantiasa menerapkan konsep kesatuan social yang mendukung upaya kemajuan peradaban Bali. Pada akhirnya tentu mesti bermuara pada upaya konservasi terhadap keberadaan Pura Beji, baik dilihat dalam lingkup konservasi satuan fisik (kesatuankelompok bangunan dengan identitas fisik) yang mampu “menjelaskan” secara rinci mengenai latar belakang fisik bangunan Pura Beji maupun wilayahnya. Atau pun termasuk dalam satuan pandangan visualnya, suatu identitas visual dalam satu wilayah , yang menjadi citra dari wilayah itu.

Lingkungan Pura Beji sebagai salah satu karya arsitektur bersejarah yang religius mesti tetap berada pada lokasi historisnya, serta menjaga latar visual semula yang sudah selaras, seperti pola, bentuk, skala, warna, tekstur, bahan dan ragam hias bangunan suci atau bangunan pelengkapnya. Ragam hias Pura Beji Sangsit memang punya ciri khas, pemberi jati diri arsitektur puranya.